Judul Buku: Catatan Seorang Demonstran
Penulis: Soe Hok Gie
Penyunting: Ismid Hadad, Fuad Hashem, Aswab Mahasin, Ismet Nasir dan Daniel Dhakidae
Penerbit: Pustaka LP3ES Indonesia
Tebal: 385 halaman
Kutipan dari Buku: “Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: ‘dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan’. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.”
Buku Soe Hok Gie dibagi menjadi delapan bagian, bagian I, Soe Hok Gie: Sang Demonstran; bagian II, Masa Kecil; bagian III, Di Ambang Remaja; bagian IV, Lahirnya Seorang Aktivis; bagian V, Catatan Seorang Demonstran; bagian VI, Perjalanan Ke Amerika; bagian VII, Politik, Pesta dan Cinta; dan bagian VIII, Mencari makna. Buku ini bercerita tentang Soe Hok Gie yang merupakan seorang aktivis kampus yang memegang teguh prinsipnya dan memiliki cita-cita yang besar. Mimpinya bukan hanya tentang dirinya tapi juga tentang kepentingan orang banyak dan kaum yang termarjinalkan. Sosok Gie ini gemar sekali membuat catatan-catatan tentang apa yang ada dipikiran kritisnya sebagai representasi dari pengalamanya menjadi seorang mahasiswa, pendaki, dan tentang dirinya yang merdeka yang memiliki darah Tionghoa.
Soe Hok Gie adalah seorang pemikir yang berani melontarkan pendapat-pendapatnya tentang segala permasalahan yang dialami bangsa Indonesia seperti masalah kesenjangan, kebijakan pemerintah yang kurang bijak terhadap rakyat kecil dan marjinal, serta segala permasalahan yang terjadi di masa orde baru. Sebagai sosok intelektual, Gie memiliki pemikiran yang luas dan selalu menjunjung nilai keadilan dan kejujuran. Gie berusaha untuk menggugah keberanian mahasiswa dalam bersikap dan menanggapi masalah yang ada. Di tengah-tengah pertentangan politik agama, kepentingan golongan, ia tegak berdiri di atas prinsip perikemanusiaan dan keadilan dan secara jujur dan berani menyampaikan kritik-kritik atas dasar prinsip-prinsip itu demi kemajuan bangsa. Baginya, hanya ada dua pilihan menjadi apatis atau mengikuti arus tetapi aku memilih untuk menjadi manusia merdeka. Hal itu juga dikarenakan aksi sosial aktivis berpotensi diintervensi oleh politikus untuk kepentingan politik.
Buku ini memperkaya sudut pandang kita tentang politik pada masa orde baru melalui catatan kritis dari sosok Soe Hok Gie. Buku ini juga memberi wawasan tentang diaspora Tionghoa di Indonesia yang bisa menjadi renungan kita bersama untuk lebih menumbuhkan adanya inklusivitas. Melalui buku ini kita sadar bahwa, Gie, adalah sosok yang berdiri di atas apa yang dia benar-benar pikirkan tentang apa yang benar untuknya. Ia tidak mau hanya mengikuti mayoritas rekan-rekannya di universitas. Sebagai mahasiswa yang kritis, ia tidak ingin hanya beraksi menyuarakan aspirasi tanpa pemikiran yang matang atau hanya sekadar ikut-ikutan. Secara keseluruhan buku ini menjadi salah satu karya yang wajib dibaca oleh para mahasiswa atau orang lain yang mengatasnamakan dirinya sebagai aktivis namun kehilangan makna karena unsur politis.
Kelebihan dari buku ini adalah penyampaian bahasanya yang mudah dipahami karena menggunakan bahasa sehari-hari dan semakin mudah untuk kita membayangkan yang terjadi pada masa itu. Kelemahan buku ini terdapat pada kertas yang di gunakan karena buku cetakan pertama ini masih menggunakan kertas buram.
0 komentar: